Lekuk gaya bangunannya dari awal berdiri hingga kini tidak banyak yang berubah. Begitu pula dengan keyakinan yang dilakukan jemaat di gereja ini.
Mengikuti langkah kaki di pelataran Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Jalan Pahlawan No.24 Mojowarno, Kabupaten Jombang kita seolah kembali ke relung nuansa masa lalu. Lantaran, beberapa lekuk gaya bangunan dari awal berdiri hingga kini tidak banyak yang berubah. Mimbar kayu berukir, deretan bangku jemaat, jendela masih tetap asli bergaya kolonial dengan pilar menjulang dan lancip, serta lonceng dan orgel.
Kemudian sampai di bangunan depan gereja yang biasa disebut dengan Gereja Mojowarno ini, pandangan mata akan tergoda pada tiga larik tulisan beraksara Jawa yang menghiasi gevel gereja. Baris pertama dan kedua yang berbunyi, “Duh Gusti, ingkang kawula purugi sinten malih? Paduka kagungan pangandikanipun gesang langgeng”. Sementara baris ketiga yang berbunyi, “Margane slamet rahe pamenthangan”. Larik tulisan itu seolah menyimbolkan wujud kepasrahan jemaat Jawi Wetan pada Sang Kuasa.
Selain itu, nuansa masa silam ini juga dapat kita rasakan kala menjumpai beberapa jemaat dari usia tua, baik laki maupun wanita yang mengenakan busana khas Jawa. Misal untuk laki-laki mengenakan baju batik dengan kopyah. Sementara jemaat wanita mengenakan busana kebaya Jawa, bahkan saat acara kebaktian gereja beberapa dari mereka masih ada yang membaca alkitab berhuruf Jawa.
Puncak lonjakan jumlah jemaat di gereja ini biasanya ada dua momen, pertama terjadi pada saat acara kebaktian dan yang kedua adalah pada saat diselenggarakannya tradisi jemaat Kristen Jawi Wetan, yakni perayaan Hari Raya Undhuh-undhuh. Merupakan sebuah ritual persembahan sebagai wujud ungkapan rasa syukur atas kelimpahan berkah. Pada tradisi ini prosesi diawali dengan membuat dua Pencar yang dibentuk boneka sebagai lambang Dewi Sri dan Sedana yang melambangkan kesuburan atau rejeki, untuk kemudian dilanjutkan prosesi persembahan.
Dari segi bangunannya, gereja seluas 2537 meter persegi ini terdapat bangunan utama gereja berbentuk geometris dan simetri penuh. Ruangan peribadatan memiliki dua buah pintu masuk dengan model kupu tarung yang terletak di bagian depan di sisi kanan dan kiri bangunan. Lalu terdapat pula tangga untuk digunakan naik ke lantai dua. Pada kedua tangga inilah tampak luarnya dibuat tower (menara), yang biasa kita lihat pada bangunan gereja bergaya neogothik. Hal ini dapat dilihat dari adanya jendela-jendela berbentuk busur lancip.
Meskipun berada di kawasan dengan penduduk yang mayoritas Islam, keberadaan Gereja Mojowarno dapat dikategorikan sebagai bangunan gereja Kristen Protestan tertua yang ada di kabupaten ini. Bahkan termasuk salah satu gereja tertua di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sejarah berdirinya gereja yang dikerjakan mulai tahun 1879 dan diresmikan pada 3 Maret 1881.
Penjelasan Wakil Ketua Majelis GKJW Mojowarno Djoko Purwanto, sejarah singkat mengenai berdirinya Gereja Mojowarno tidak dapat dipisahkan dari seorang warga Belanda bernama Conrad Laurens Collen, dia waktu itu mengajak petani setempat di Desa Ngoro, Mojowarno untuk mendirikan sebuah gereja yang kemudian diberi nama Gereja Mojowarno. “Karena itu pula gaya bangunan gereja ini kental dengan perpaduan gaya kolonial dan Jawa, dan hingga sekarang ya seperti ini andaikan ada perbaikan hanya di beberapa bagian saja, ” tukasnya. naskah:m.ridloi – foto:frannoto